BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Posisi ilmu
tentang bahasa (linguistik) sangat erat kaitannya dengan kegiatan pengajaran
bahasa. Hal ini ditegaskan oleh Soenardji (1989: 95) yang menyatakan “Kedudukan
linguistik dalam lingkup kegiatan pendidikan (dan dengan sendirinya tercakup
pula kegiatan pengajaran) sudah bersifat aksiomatik”. Aksiomatik berarti
pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian (Depdikbud,
1990: 16). Corder (1974) dalam Pateda (1991: 24) menyatakan “Pengajaran
linguistik adalah pemanfaatan pengetahuan tentang alamiah bahasa yang
dihasilkan oleh peneliti bahasa yang digunakan untuk meningkatkan
keberhasilgunaan tugas-tugas praktis yang menggunakan bahasa sebagai komponen
inti”. Dalam batasan tersebut terlihat adanya keterkaitan antara pengajaran
linguistik dengan pengetahuan linguistik. Pengetahuan linguistik digunakan
untuk kepentingan praktis, tetapi bidang yang tetap berkaitan dengan bahasa.
Linguistik
menghasilkan teori dan rincian bahasa tertentu. Teori dan rincian bahasa
tersebut diterapkan dalam proses belajar mengajar bahasa yang bersangkutan,
termasuk bahasa Indonesia. Untuk mengajarkan bahasa Indonesia dibutuhkan
pengetahuan linguistik yang cukup. Pengetahuan tentang linguistik tersebut yang
akan membantu pengajar bahasa sehingga teori dan rincian bahasa tadi dapat
diajarkan dengan baik melalui pengajaran bahasa. Guru bahasa Indonesia yang
tidak memiliki wawasan linguistik selalu ragu-ragu, baik ketika menjelaskan
materi yang diajarkan atau menjawab pertanyaan siswa. Guru tersebut ragu-ragu
apakah yang dijelaskan memang betul atau kurang tepat? Misalnya seorang siswa
bertanya “Manakah yang benar, menerjemahkan atau menterjemahkan?”
Apabila guru tersebut menjawab menerjemahkan yang benar tentu siswa
bertanya lagi mengapa bukan menterjemahkan karena bentuk itu yang selalu
digunakan oleh mayarakat untuk berkomunikasi? Guru bingung. Guru yang tidak
bijaksana akan marah atau akan menjawab “Ya, dua-duanya benar” siswa tidak
memperoleh pegangan. Siswa menangkap kesan bahwa dalam bahasa Indonesia boleh
begini, boleh begitu, tidak ada kaidah yang pasti.
Strategi
pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang
serangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan tertentu. Kemp (1995)
menyebutkan strategi pembelajaran sebagai suatu kegiatan pembelajaran yang
harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara
efektif dan efisien. Sedangkan Dick dan Carey (1985) menyebutkan bahwa strategi
pembelajaran merupakan suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang
digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa
(Sanjaya, 2006, 1924).
Shukor dalam Muhfahroyin (2009) menyatakan bahwa untuk
menghadapi perubahan dunia yang begitu pesat adalah dengan membentuk budaya
berpikir kritis di masyarakat. Prioritas utama
dari sebuah system pendidikan adalah mendidik siswa tentang bagaimana cara
belajar dan berpikir kritis.
Berpikir
kritis adalah keharusan dalam usaha menyelesaikan masalah, membuat keputusan,
menganalisis asumsi-asumsi. Berpikir kritis diterapkan kepada siswa untuk
belajar memecahkan masalah secara sistematis, inovatif, dan mendesain solusi
yang mendasar. Dengan berpikir kritis siswa menganalisis apa yang mereka
pikirkan, mensintesis informasi, dan menyimpulkan.
Sering
terjadi di beberapa sekolah menggunakan strategi pembelajaran yang kurang
efektif. Seorang guru hanya bisa memberikan materi dalam bentuk ceramah tanpa
memikirkan mungkin saja ada siswa yang ingin mengatakan sesuatu. Dalam makalah
yang akan dibahas ini penulis akan mencoba sedikit menjelaskan tentang strategi
pembelajaran atau model pembelajaran yang bertumpu pada pengembangan kemampuan
berpikir peserta didik. Peserta didik bukan sekedar menguasai materi pelajaran,
tetapi bagaimana mengembangkan gagasan dan ide melalui bahasa verbal.
B. Batasan dan
Ruang Lingkup Pokok Bahasan
Berdasarkan
latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan yang akan dikemukakan
pada makalah ini perlu dibatasi pada pengajaran bahasa Indonesia dalam meningkatkan kemampuan berfikir kritis siswa. Dengan
demikian, rumusan masalah pada makalah ini dikemukakan dalam bentuk pertanyaan,
yaitu “Bagaimanakah peningkatan kemampuan berfikir siswa melalui pengajaran bahasa?”
C. Tujuan
Pembahasan
Makalah ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana peningkatan kemampuan berfikir siswa melalui
pengajaran bahasa.
D. Manfaat
Pembahasan
Berdasarkan
tujuan pembahasan di atas, maka makalah ini diharapkan dapat bermanfaat:
a) Sebagai bahan
masukan bagi pengajar bahasa dalam pemberdayaan pengajaran bahasa; dan
b) Untuk memperluas
pengetahuan penulis tentang bahasa secara umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembelajaran Bahasa
1.1. Bahasa sebagai
Objek Linguistik
Bertitik tolak
dari definisi linguistik, dapat diambilkesimpulan bahwa objek linguistik adalah
bahasa. Bahasa sebagai objek linguistik yang menyebabkan linguistik diputuskan
menjadi satu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.
Berkaitan
dengan kemajuan teknologi sekarang, kita dapat berbicara langsung dengan orang
lain meskipun orang itu tinggal beratus-ratus kilometer dari tempat tinggal
kita. Kiata dapat menghubunginya dengan jalan menelepon jarak jauh yang berarti
kita telah menggunakan bahasa. Semestinya kita harus berlayar menemuinya,
tetapi dengan menggunakan bahasa melalui jasa telepon, kita dapat
meminta—misalnya—agar ia mengirim uang kepada kita.
Dalam kehidupan
sehari-hari kita sering berkata, “Toni, ambilkan buku itu!” Tidak beberapa lama
kemudian, buku yang kita maksud sudah berada di tangan kita. Ini berarti dengan
menggunakan beberapa patah kata, ada kegiatan manusia yang diganti. Ini berarti
pula bahwa bahasa berfungsi mengganti diri kita dan kegiatan kita.
Menggunakan
bahasa mengirimkan lambang-lambang dari pembicara menuju pendengan. Oleh karena
bahasa yang berwujud kata-kata dan kalimat yang digunakan berasal dari pribadi
seseorang, maka dapat dikatakan bahwa bahasa bersifat individual. Bahasa
berfungsi menghubungkan pribadi dengan pribadi. Bahasa bersifat personal yang
berarti berguna untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan kemauan individu.
Sesuatu yang
dikatakan oleh pembicara akan ditafsirkan oleh pendengar. Dengan kata lain,
setelah kata atau kalimat yang berwujud bunyi-bunyi itu dihasilkan, orang yang
mendengarnya bisa saja menaatinya. Ini berarti terjadi kerja sama antara
pembicara dengan pendengar. Ini berarti pula bahwa hakikat bahasa yang bersifat
individual itu menjadi kooperatif. Maksudnya, antara pembicara dengan pendengar
terjadi kerja sama dengan jalan menggunakan bahasa.
Tanpa bahasa
manusia tidak dapat melaksanakan amanah kehidupannya di dunia ini secara
sempurna. Bahasa menjadi alat yang sempurna untuk menghubungkan dunia seseorang
dengan dunia di luar dirinya. Bahasa sebagai alat mengacu juga sebagai alat
perekam dan penyampai aktivitas kebudayaan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
1.2. Pengajaran
Bahasa oleh Guru
Tugas utama
guru bahasa kalau dikaitkan dengan tujuan instruksional yang ingin dicapai adalah
berusaha keras agar siswa menjadi tuntas berbahasa dalam bahasa yang diajarkan.
Tugas guru mengajarkan bahasa dan bukan mengajarkan teori bahasa. Dewasa ini
terdapat kesan bahwa guru lebih banyak mengajarkan teori bahasa dan tidak mengajarkan
bagaimana siswa menggunakan bahasa yang diajarkan.
Menurut Stevick
(1982) dalam Pateda (1991: 38), tugas guru bahasa meliputi tiga hal. Ketiga
tugas itu adalah (1) mengembangkan potensi komunikasi, (2) mengembangkan
potensi linguistik, dan (3) mengembangkan potensi personal. Tugas guru yang
berhubungan dengan upaya mengembangkan kompentensi komunikasi mengacu pada
upaya agar siswa mampu berkomunikas, baik sesama teman maupun dengan manusia
lain. Tugas utama di sini adalah berusaha agar siswa berani dan tidak ragu-ragu
untuk mengemukakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Ketiga domain itu tentu
harus menggunakan bahasa yang benar. Siswa harus memahami kaidah-kaidah bahasa
yang digunakan ketika ia berkomunikasi. Hal itu perlu agar tidak terjadi salah
paham.
Kompentensi
berkomunikasi dan kompentensi linguistik bersama-sama akan memperkuat
kemandirian siswa sebagai makluk yang berkembang dan didengar pendapatnya.
Keberanian berkomunikasi menggunakan bahasa yang tepat menimbulkan rasa
kepercayaan pada diri sendiri bahwa ia merupakan pribadi yang berarti. Ia tidak
akan ragu-ragu karena ia mengetahui kemampuan dirinya. Dalam keadaan tertentu
ia dapat menentukan sikap terhadap sejumlah alternatif yang dihadapinya karena
kompentensi personalnya telah berkembang sedemikian melalui interaksi positif
antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dan siswa dengan lingkungan.
Kompentensi
berkomunikasi dan kompentensi linguistik berkembang secara baik apabila pada
diri siswa sendiri terdapat motivasi. Motivasi yang dimaksud adalah
berkomunikasi, mengembangkan komunikasi linguistik bahkan mengembangkan
komunikasi personal. Dikaitkan dengan motivasi, ada empat faktor utama yang
turut menentukan. Keempat faktor itu adalah (1) sosiolinguistik, (2) siswa, (3)
metode, dan (4) guru.
Faktor
sosiolinguistik mengacu kepada hubungan siswa dengan lingkungan sosialnya. Ini
berarti pilihan bahasa siswa dikaitkan dengan fungsi dan situasi. Faktor siswa
mengacu pada upaya sadar yang muncul dari siswa sendiri untuk mengembangkan
poteni yang dimiliki. Faktor metode mengacu pada cara yang dilaksanakan
sehingga siswa secara sadar berkeinginan berkomunikasi. Faktor guru mengacu
pada upaya guru yang mengakibatkan siswa mau berkomunikasi.
Mengajarkan
bahasa berarti “aktivitas terpogram menyediakan fasilitas yang memungkinkan
siswa mengembangkan potensi dan keterampilannya” (Pateda, 1991: 39). Sebagai
guru bahasa sebaiknya ia:
a) menguasai semua metode pegajaran bahasa
dan dapat menerapkan metode itu dalam proses belajar mengajar,
b) menguasai bahan yang akan dan sedang
diajarkan,
c) melaksanakan semua kegiatan sekolah,
misalnya melaksanakan ulangan,
d) menguasai semua jenis dan prosedur
penilaian,
e) menguasai semua tipe latihan berbahasa,
f) menguasai pengelolaan kelas, misalnya
dapat mengatasi keributan siswa karena gangguan,
g) menguasai teknik pegajaran individual,
h) dapat menentukan dan menguasai silabi
pelajaran,
i) dapat memanfaatkan media pengajaran
yang tersedia,
j) menguasai tujuan pengajaran dan
aktivitas untuk mencapai tujuan tersebut, dan
k) menguasai teknik-teknik pendidikan.
1.3. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pembelajaran Bahasa
Ada beberapa factor yang berpengaruh
terhadp metode pembelajaran bahasa diantaranya:
a) Persamaan dan perbadaan antar sistem
bahasa pertama siswa dengan bahasa kedua yang mereka pelajari.
b) Usia siswa pada saat mereka belajar
bahasa indonesia
c) Latar belakang sosial budaya siswa
d) Pengalaman, pengetahuan dan
keterampilan berbahasa siswa dalam bahasa yang dipelajarinya yang sudah mereka
punyai.
e) Pengetahuan dan keterampilan
berbahasa guru dalam bahasa yang akan dipelajarinya:
f) Guru bahasa menguasai bahan ajar
g) Guru bahasa mampu mengelola
program-program belajar mengajar bahasa indonesia
i) Kedudukan dan fungsi bahasa yang
dipelajari siswa dalam masyarakat tempat dimana mereka berada.
j) Tujuan pembelajaran yang di inginkan
k) Alokasi waktu yang tersedia untuk
kegiatan pembelajaran
l) Metode yang digunakan dalam
pembelajaran bahasa
1.4. Jenis-Jenis Metode dalam Pembelajaran Bahasa
Berikut ini akan dijelaskan beberapa
metode dlam pembelajaran bahasa,diantarnya:
a)
Metode Audiolingual
Metode audiolingual sangat
mengutamakan drill (pengulangan). Metode itu muncul karena terlalu
lamanya waktu yang ditempuh dalam belajar bahasa target. Padahal untuk
kepentingan tertentu, perlu penguasaan bahasa dengan cepat. Dalam audiolingual
yang berdasarkan pendekatan struktural itu, bahasa yang diajarkan dicurahkan
pada lafal kata, dan pelatihan pola-pola kalimat berkali-kali secara intensif.
Guru meminta siswa untuk mengulang-ulang sampai tidak ada kesalahan.
Langkah-langkah yang biasanya
dilakukan adalah (a) penyajian dialog atau teks pendek yang dibacakan guru
berulang-ulang dan siswa menyimak tanpa melihat teks yang dibaca, (b) peniruan
dan penghafalan teks itu setiap kalimat secara serentak dan siswa menghafalkannya,
(c) penyajian kalimat dilatihkan dengan pengulangan, (d) dramatisasi dialog
atau teks yang dilatihkan kemudian siswa memperagakan di depan kelas, dan (e)
pembentukan kalimat lain yang sesuai dengan yang dilatihkan.
b) Metode Komunikatif
Desain yang bermuatan komunikatif
harus mencakup semua keterampilan berbahasa. Setiap tujuan diorganisasikan ke
dalam pembelajaran. Setiap pembelajaran dispesifikkan ke dalam tujuan konkret
yang merupakan produk akhir. Sebuah produk di sini dimaksudkan sebagai sebuah
informasi yang dapat dipahami, ditulis, diutarakan, atau disajikan ke dalam
nonlinguistis. Sepucuk surat adalah sebuah produk. Demikian pula sebuah
perintah, pesan, laporan, atau peta, juga merupakan produk yang dapat dilihat
dan diamati. Dengan begitu, produk-produk tersebut dihasilkan melalui
penyelesaian tugas yang berhasil.
Contohnya menyampaikan pesan kepada
orang lain yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Tujuan itu dapat dipecah
menjadi (a) memahami pesan, (b) mengajukan pertanyaan untuk menghilangkan
keraguan, (c) mengajukan pertanyaan untuk memperoleh lebih banyak informasi,
(d) membuat catatan, (e) menyusun catatan secara logis, dan (f) menyampaikan
pesan secara lisan.
Dengan begitu, untuk materi bahasan
penyampaian pesan saja, aktivitas komunikasi dapat terbangun secara menarik,
mendalam, dan membuat siswa lebih intensif.
c) Metode
Produktif
Metode
produktif diarahkan pada berbicara dan menulis. Siswa harus banyak berbicara
atau menuangkan gagasannya. Dengan menggunakan metode produktif diharapkan
siswa dapat menuangkan gagasan yang terdapat dalam pikirannya ke dalam
keterampilan berbicara dan menulis secara runtun. Semua gagasan yang
disampaikan dengan menggunakan bahasa yang komunikatif.
Yang dimaksud
dengan komunikatif di sini adalah adanya respon dari lawan bicara. Bila kita
berbicara lawan bicara kita adalah pendengar, bila kita menulis lawan bicara
kita adalah pembaca.
d) Metode
Langsung
Metode langsung
berasumsi bahwa belajar bahasa yang baik adalah belajar yang langsung
menggunakan bahasa secara intensif dalam komunikasi. Tujuan metode langsung
adalah penggunaan bahasa secara lisan agar siswa dapat berkomunikasi secara
alamiah seperti penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat.
Siswa diberi
latihan-latihan untuk mengasosiasikan kalimat dengan artinya melalui
demonstrasi, peragaan, gerakan, serta mimik secara langsung.
e) Metode
Partisipatori
Metode
pembelajaran partisipatori lebih menekankan keterlibatan siswa secara penuh. Siswa dianggap sebagai penentu
keberhasilan belajar. Siswa didudukkan sebagai subjek belajar. Dengan
berpartisipasi aktif, siswa dapat menemukan hasil belajar. Guru hanya bersifat
sebagai pemandu atau fasilitator.
Dalam metode
partisipatori siswa aktif, dinamis, dan berlaku sebagai subjek. Namun, bukan
berarti guru harus pasif, tetapi guru juga aktif dalam memfasilitasi belajar
siswa dengan suara, gambar, tulisan dinding, dan sebagainya. Guru berperan sebagai pemandu yang
penuh dengan motivasi, pandai berperan sebagai moderator dan kreatif. Konteks
siswa menjadi tumpuan utama.
f) Metode Membaca
Metode membaca bertujuan agar siswa
mempunyai kemampuan memahami teks bacaan yang diperlukan dalam belajar siswa.
Berikut langkah-langkah metode
membaca:
(1) Pemberian
kosakata dan istilah yang dianggap sukar dari guru ke siswa. Hal ini diberikan
dengan definisi dan contoh ke dalam kalimat
(2) Penyajian
bacaan di kelas. Bacaan dibaca dengan diam selama 10-15 menit (untuk
mempercepat waktu, bacaan dapat diberikan sehari sebelumnya)
(3) Diskusi isi bacaan dapat melalui tanya jawab
(4) Pembicaraan
tata bahasa dilakukan dengan singkat. Hal itu dilakukan jika dipandang perlu
oleh guru
(5) Pembicaraan kosakata yang relevan
(6) Pemberian tugas seperti mengarang (isinya
relevan dengan bacaan) atau membuat denah, skema, diagram, ikhtisar, rangkuman,
dan sebagainya yang berkaitan dengan isi bacaan.
g) Metode Tematik
Dalam metode tematik, semua komponen
materi pembelajaran diintegrasikan ke dalam tema yang sama dalam satu unit
pertemuan. Yang perlu dipahami adalah bahwa tema bukanlah tujuan tetapi alat
yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tema tersebut harus diolah
dan disajikan secara kontekstualitas, kontemporer, konkret, dan konseptual.
Tema yang telah ditentukan haruslah
diolah dengan perkembangan lingkungan siswa yang terjadi saat ini. Begitu pula
isi tema disajikan secara kontemporer sehingga siswa senang. Apa yang terjadi
sekarang di lingkungan siswa juga harus terbahas dan terdiskusikan di kelas.
Tema tidak disajikan secara abstrak tetapi diberikan secara konkret. Semua
siswa dapat mengikuti proses pembelajaran dengan logika yang dipunyainya.
Konsep-konsep dasar tidak terlepas. Siswa berangkat dari konsep ke analisis
atau dari analisis ke konsep kebahasaan, penggunaan, dan pemahaman.
h) Metode Kuantum
Quantum Learning (QL) merupakan metode pendekatan
belajar yang bertumpu dari metode Freire dan Lozanov. QL mengutamakan
kecepatan belajar dengan cara partisipatori peserta didik dalam melihat potensi
diri dalam kondisi penguasaan diri. Gaya belajar mengacu pada otak kanan dan
otak kiri menjadi ciri khas QL. Menurut QL bahwa proses belajar mengajar adalah
fenomena yang kompleks. Segala sesuatu dapat berarti setiap kata, pikiran,
tindakan, dan asosiasi, serta sejauh mana guru mengubah lingkungan, presentasi,
dan rancangan pengajaran maka sejauh itulah proses belajar berlangsung.
Hubungan dinamis dalam lingkungan
kelas merupakan landasan dan kerangka untuk belajar. Dengan begitu, pembelajar
dapat mememori, membaca, menulis, dan membuat peta pikiran dengan cepat.
i) Metode Kerja Kelompok Kecil (Small-Group Work)
Mengorganisasikan siswa dalam
kelompok kecil merupakan metode yang banyak dianjurkan oleh para pendidik.
Metode ini dapat dilakukan untuk mengajarkan materi-materi khusus. Kerja
kelompok kecil merupakan metode pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Siswa
dituntut untuk memperoleh pengetahunan sendiri melalui bekerja secara
bersama-sama. Tugas guru hanyalah memonitor apa yang dikerjakan siswa. Yang
ingin diperolah melalui kerja kelompok adalah kemampuan interaksi sosial, atau
kemampuan akademik atau mungkin juga keduanya.
j) Metode Alamiah
Metode ini banyak memiliki nama,
yaitu metode murni, metode natural atau “customary method”. Metode ini memiliki
prinsip bahwa mengajar bahasa baru (seperti bahasa kedua) harus sesuai dengan
kebiasaan belajar berbahasa yang sesungguhnya sebagaimana yang dilalui oleh
anak-anak ketika belajar bahasa ibunya. Proses alamiah inilah yang harus
dijadikan landasan dalam setiap langkah yang harus ditempuh dalam pengajaran
bahasa kedua, seperti bahasa Indonesia.
Seperti Anda ketahui proses belajar
bahasa anak-anak dimulai dengan mendengar, kemudian berbicara, kemudian membaca
dan akhirnya menulis atau mengarang. Jadi pada awal pelajaran, gurulah yang
banyak berbicara/bercerita dalam rangka memperkenalkan bunyi-bunyi, kosa kata
dan struktur kalimat sederhana. Setelah mereka dapat menyimak dengan baik,
kemudian anak-anak diajak berbicara dan selanjutnya mulai diperkenalkan dengan
membaca dan menulis.
k) Metode Terjemahan
Metode terjemahan (the translation
method) adalah metode yang lazim digunakan untuk pengajaran bahasa asing,
termasuk dalam hal ini Bahasa Indonesia yang pada umumnya merupakan bahasa
kedua setelah penggunaan bahasa ibu yakni bahasa daerah. Prinsip utama
pembelajarannya adalah bahwa penguasaan bahasa asing dapat dicapai dengan cara
latihan terjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa ibu murid atau ke dalam
bahasa yang dikuasainya. Misal: latihan terjemahan dari Bahasa Indonesia ke
dalam bahasa daerah atau dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia.
Kelebihan metode ini dalam hal kepraktisan dalam pelaksanaannya dan dalam hal
penguasaan kosakata dan tatabahasa dari bahasa yang baru dipelajari siswa.
l) Metode Pembatasan Bahasa
Metode ini menekankan pada
pembatasan dan penggradasian kosakata dan struktur bahasa yang akan diajarkan.
Pembatasan itu dalam hal kekerapan atau penggunaan kosakata dan urutan
penyajiannya. Kata-kata dan pola kalimat yang tinggi pemakaiannya di masyarakat
diambil sebagai sumber bacaan dan latihan penggunaan bahasa. Pola-pola kalimat,
perbendaharaan kata, dan latihan lisan maupun tulisan dikontrol dengan baik
oleh guru.
B. Berfikir Kritis
Menurut
Paul, Fisher dan Nosich (1993:4) berpikir kritis adalah mode berpikir-mengenal
hal, substansi atau masalah apa saja dimana si pemikir meningkatkan kualitas
pemikirannya dengan menangani secara terampil strukturstruktur yang melekat
dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya.
Edward
Glaser (1941:5) mendefinisikan berpikir kritis sebagai suatu sikap mau berpikir
secara mendalam tenatang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam
jangkauan seseorang; pengetahuan tentang metode-metode pemeriksanaan dan
penalaran yang logis; dan semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode
tersebut.
Menurut
Ennis (dalam Norris dan Ennis, 1989), berpikir kritis didefinisikan“critical
thinking as the ability to make reasonable assessments of statements, to which
we would add that critical thinking is the best thought of asan attitude or a persistent
disposition to make such assessments”.
Berpikir
kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada
pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Angelo
(1995: 6), bahwa berpikir kritis harus memenuhi karakteristik kegiatan berpikir
yang meliputi : analisis, sintesis, pengenalan masalah dan pemecahannya,
kesimpulan, dan penilaian. Dari beberapa pendapat para ahli tentang definisi
berpikir kritis di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis (critical
thinking) adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi
informasi. Informasi tersebut bisa didapatkan dari hasil pengamatan,
pengalaman, akal sehat atau komunikasi.
Universal
inlellectual standars adalah standardisasi yang harus diaplikasikan dalam
berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas pemikiran dalam merumuskan
permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Berpikir kritis harus
selalu mengacu dan berdasar kepada standar tersebut (Eider dan Paul, 2001: 1).
Sedangkan
menurut Glaser (1941:6) indikator-indikator berpikir kritis adalah sebagai
berikut:
a. mengenal masalah,
b. menemukan
cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu,
c. mengumpulkan dan menyusun
informasi yang diperlukan,
d. mengenal asumsi-asumsi dan
nilai-nilai yang tidak dinyatakan,
e. memahami dan menggunakan
bahasa yang tepat, jelas, dan khas,
f. menganalisis
data
g. menilai
fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan,
h. mengenal adanya hubungan
yang logis antara masalah-masalah,
i. menarik
kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan,
j. menguji kesamaan-kesamaan
dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil,
k. menyusun kembali pola-pola
keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas,
l. membuat penilaian yang
tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan
sehari-hari.
Menurut
Ennis (dalam Costa, 1985: 55) indikator kemampuan berpikir kritis dapat
diturunkan dari aktivitas kritis siswa meliputi:
a. Mencari
pernyataan yang jelas dari pertanyaan.
b. Mencari
alasan.
c. Berusaha
mengetahui infomasi dengan baik.
d. Memakai sumber yang
memiliki kredibilitas dan menyebutkannya.
e. Memerhatikan
situasi dan kondisi secara keseluruhan.
f. Berusaha tetap relevan dengan
ide utama.
g. Mengingat kepentingan yang
asli dan mendasar.
h. Mencari
alternatif.
i. Bersikap
dan berpikir terbuka.
j. Mengambil
posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu.
k. Mencari
penjelasan sebanyak mungkin.
l. Bersikap
secara sistematis dan teratur dengan bagian dari keseluruhan masalah.
Selanjutnya, Ennis (dalam Costa, 1985: 55-56),
mengidentifikasi 12 indikator berpikir kritis, yang dikelompokkannya dalam lima
besar aktivitas sebagai berikut:
a. Memberikan penjelasan sederhana, yang berisi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis
pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan
atau pernyataan.
b. Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan apakah sumber
dapat dipercaya atau tidak dan mengamati serta mempertimbangkan suatu laporan
hasil observasi.
c. Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau mempertimbangkan
hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat
serta menentukan nilai pertimbangan.
d. Memberikan penjelasan lanjut, yang
terdiri atas mengidentifikasi istilahistilah dan definisi pertimbangan dan juga
dimensi, serta mengidentifikasi asumsi.
e. Mengatur strategi dan teknik, yang
terdiri atas menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain.
Indikator-indikator tersebut dalam prakteknya dapat bersatu padu membentuk
sebuah kegiatan atau terpisah-pisah hanya beberapa indikator saja.
Berdasarkan
penjelasan indikator-indikator berpikir kritis diatas. Aspek kemampuan berpikir
kritis yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.
a. Keterampilan
memberikan penjelasan yang sederhana, dengan indikator: menganalisis pertanyaan
dan memfokuskan pertanyaan.
b. Keterampilan memberikan
penjelasan lanjut, dengan indikator: mengidentifikasi asumsi.
c. Keterampilan mengatur strategi dan taktik,
dengan indikator: menentukan solusi dari permasalahan dalam soal dan menuliskan
jawaban atau solusi dari permasalahan dalam soal.
d. Keterampilan menyimpulkan dan keterampilan
mengevaluasi, dengan indikator: menentukan kesimpulan dari solusi permasalahan
yang telah diperoleh dan menentukan alternatif-alternatif cara lain dalam
menyelesaikan masalah.
C. Peningkatan
Kemampuan Berfikir Kritis melalui Pembelajaran Bahasa
Tugas guru
memang berat karena guru bukanlah manusia yang menghadapi benda mati, bukan
menghadapi tumpukan kertas, guru bukanlah guru tik yang kalau salah mengetik
tersedia tip ex untuk memperbaiki kesalahan itu. Guru adalah manusia
biasa yang penuh keterbatasan. Selain itu, ia menghadapi manusia yang sedang
berkembang yang memiliki sejumlah potensi yang harus dilacak dan dikembangkan.
Dalam kegiatannya, guru harus dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan ilmu dasar, misalnya ilmu alamiah dasar, ilmu sosial dasar,
dan ilmu budaya dasar. Guru juga harus dibekali dengan ilmu pendidikan,
misalnya dasar-dasar pendidikan, layanan bimbingan belajar, pengelolaan kelas,
interaksi belajar mengajar, penilaian, dan perencanaan pengajaran bahasa. Tentu
saja ilmu yang berhubungan dengan bidang studi harus mempunyai porsi yang
banyak dalam pengalokasian waktu.
Secara ideal,
seorang guru bahasa adalah seorang ahli bahasa, peneliti, dan penulis bahan
pelajaran kebahasaan. Ia juga harus selalu mendalami dan mengikuti perkembangan
ilmu yang diajarkannya. Seorang guru bahasa mau tidak mau harus menguasai
linguistik. Sekali pun harapan ideal pertama, yaitu menjadi ahli bahasa dapat
diperlunak, tetapi dengan pengetahuan linguistik yang dimiliki, guru bahasa dapat
mengajarkan aspek bahasa sehingga siswa dengan mudah menguasai bahan yang
diajarkan. Bagaimanakah seorang guru bahasa menerangkan kata menanamkan
dan menanami kalau tidak menguasai tata bahasa. Bagaimana pula guru
bahasa mengajarkan pengimbuhan ber + ajar menjadi belajar
dan bukan berajar, kalau guru tersebut tidak menguasai linguistik?
Bagaimana guru bahasa Indonesia dapat mengajarkan pragmatik kalau ia sendiri
tidak pernah bergaul dengan sosiolinguistik?
Pendek kata,
seorang guru bahasa harus menguasai linguistik kalau ia ingin menjadi guru yang
baik. Guru bahasa Indonesia harus menguasai fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, dan ilmu-ilmu sekerabat dengan linguistik—misalnya sosiolinguistik
dan psikolinguistik—dalam bahasa Indonesia. Tentu saja pengetahuan linguistik
bagi seorang guru bahasa Indonesia lebih bersifat praktis dalam arti
membentengi diri agar dapat menjelaskan gejala bahasa Indonesia yang
diajarkannya. Jelas pula, seorang guru bahasa Indonesia tidak boleh hanya
mengajarkan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Kaidah bahasa Indonesia dapat
diajarkan untuk menuntun pola penggunaan bahasa Indonesia ketika siswa
berkomunikasi. Guru sebaiknya memahami bagaimana agar kaidah bahasa yang
dianalisis berdasarkan konsep linguistik dapat menampakkan diri dalam pemakaian
bahasa siswa. Hal itu perlu ditekankan karena guru bahasa Indonesia tidak
mengajar siswa menjadi ahli bahasa Indonesia, tetapi berusaha agar siswa mahir
berbahasa.
Guru bahasa
selain memenuhi syarat teknis administratif sebagai guru, juga harus dilandasi
dengan pengetahuan linguistik. Hal itu penting agar wawasannya tentang
pengajaran bahasa bertambah luas. Dengan demikian, linguistik mempunyai
kegunaan bagi guru bahasa. Kegunaan itu sekurang-kurangnya dalam tiga hal,
yakni (1) kegunaan untuk peningkatan mutu profesi, (2) kegunaan secara
teoritis, dan (3) kegunaan secara praktis (Pateda, 1991: 41).
Di sisi lain
keberhasian seorang guru dalam mengajar ketika siswa mampu menerima
pembelajaran yang di berikan oleh guru sehingga mereka memahami dan menguuasai
materi yang telah diajarkan. Lebih jauh kita mengharapkan setelah memahami
materi siswa mampu mengalisah hal-ha yang berkaitan dengan materi yang telah
diajarkan yang pada gilirannya siswa mampu berfikir kritis terhadap
penenommena-penomena yang ada disekitarnya.
Keberhasilan
guru mengarahkan siswa untuk berfikir kritis sebenarnya dapat dicapai karena
beberapa hal yang dilakukan oleh guru diantarnya:
1. Penggunaan metode yang sesuai
2.
Kreatif dalam melaksanakan pembelajaran
3.
Mampu
mengrahkan siswa untuk mampu memberikan penjelasan sederhana, mampu menyimpulkan, mampu memberikan penjelasan
lanjut, mampu mengatur strategi dan teknik.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Guru bahasa
Indonesia di kelas tidak menghadapi benda mati tetapi menghadapi manusia yang
kreatif, berpotensi, dan dinamis. Dalam kegiatannya, guru harus dibekali dengan
berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu tentang pendidikan maupun yang
bersangkutan dengan mata pelajaran yang diajarkan. Dalam hal ilmu pendidikan,
guru harus dibekali dengan ilmu pendidikan, misalnya dasar-dasar pendidikan,
layanan bimbingan belajar, pengelolaan kelas, interaksi belajar mengajar, dan
penilaian.
2. Keberhasilan
guru mengarahkan siswa untuk berfikir kritis di tentukan oleh faktor diantaranya:
a. Penggunaan metode yang digunakan
oleh guru harus sesuai dengan materi pembajaran
b.
Kreatif guru dalam
melaksanakan pembelajaran
c.
Mengrahkan
siswa untuk mampu memberikan penjelasan sederhana, mampu
menyimpulkan, mampu memberikan penjelasan lanjut, mampu mengatur
strategi dan teknik.
B. Saran-saran
Mengacu pada
pembahasan yang dikemukakan, ada beberapa saran yang dapat dikemukakan
sehubungan dengan pemberdayaan guru bahasa meningkatkan kemampuan kritis siswa,
yaitu:
a. guru bahasa
sebaiknya membekali diri dengan ilmu pendidikan dan pengetahuan linguistik,
b. guru bahasa
Indonesia mengikuti terus perkembangan ilmu yang diajarkannya, dan
c. guru bahasa
harus berusaha menambah pengetahuan dan keterapilannya, baik melalui pendidikan
formal maupun informal.
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
http://henywahyunibastra.blogspot.com/2015/01/strategi-pembelajaran-peningkatan.html
http://ihwansp.blogspot.com/2011/01/tugas-kelompok-strategi-pembelajaran.html
http://muhfahroyin.
blogspot.com/2009/01/berpikir-kritis.html.
Mulyono, Anton M. dkk. 1988. Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
_______ . 1981. Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta:
Djambatan.
Muhfaroyin. (2009).
“Memberdayakan Kemampuan Berpikir Kritis”.
Nikelas, Syhwin. 1988. Pengantar Linguistik untuk Guru
Bahasa. Jakarta: Depdikbud.
Nasution, S. (1989). Kurikulum dan
Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Pateda, Mansoer. 1991. Linguistik
Terapan. Flores: Nusa Indah.
Soenardji. 1988. Sendi-sendi
Linguistika bagi Kepentingan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Debdikbud.
Subyakto-N, Sri Utari. 1988. Metodologi
Pengajaran Bahasa. Jakarta: Depdikbud.
Sanjaya, W. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi
Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sapriya. (2008). Pendidikan IPS . Bandung:
Laboratorium PKn UPI Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarnya disini