Minggu, 18 Januari 2015

PEMBELAJARAN BAHASA DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS SISWA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Posisi ilmu tentang bahasa (linguistik) sangat erat kaitannya dengan kegiatan pengajaran bahasa. Hal ini ditegaskan oleh Soenardji (1989: 95) yang menyatakan “Kedudukan linguistik dalam lingkup kegiatan pendidikan (dan dengan sendirinya tercakup pula kegiatan pengajaran) sudah bersifat aksiomatik”. Aksiomatik berarti pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian (Depdikbud, 1990: 16). Corder (1974) dalam Pateda (1991: 24) menyatakan “Pengajaran linguistik adalah pemanfaatan pengetahuan tentang alamiah bahasa yang dihasilkan oleh peneliti bahasa yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilgunaan tugas-tugas praktis yang menggunakan bahasa sebagai komponen inti”. Dalam batasan tersebut terlihat adanya keterkaitan antara pengajaran linguistik dengan pengetahuan linguistik. Pengetahuan linguistik digunakan untuk kepentingan praktis, tetapi bidang yang tetap berkaitan dengan bahasa.
Linguistik menghasilkan teori dan rincian bahasa tertentu. Teori dan rincian bahasa tersebut diterapkan dalam proses belajar mengajar bahasa yang bersangkutan, termasuk bahasa Indonesia. Untuk mengajarkan bahasa Indonesia dibutuhkan pengetahuan linguistik yang cukup. Pengetahuan tentang linguistik tersebut yang akan membantu pengajar bahasa sehingga teori dan rincian bahasa tadi dapat diajarkan dengan baik melalui pengajaran bahasa. Guru bahasa Indonesia yang tidak memiliki wawasan linguistik selalu ragu-ragu, baik ketika menjelaskan materi yang diajarkan atau menjawab pertanyaan siswa. Guru tersebut ragu-ragu apakah yang dijelaskan memang betul atau kurang tepat? Misalnya seorang siswa bertanya “Manakah yang benar, menerjemahkan atau menterjemahkan?” Apabila guru tersebut menjawab menerjemahkan yang benar tentu siswa bertanya lagi mengapa bukan menterjemahkan karena bentuk itu yang selalu digunakan oleh mayarakat untuk berkomunikasi? Guru bingung. Guru yang tidak bijaksana akan marah atau akan menjawab “Ya, dua-duanya benar” siswa tidak memperoleh pegangan. Siswa menangkap kesan bahwa dalam bahasa Indonesia boleh begini, boleh begitu, tidak ada kaidah yang pasti.

Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang serangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan tertentu. Kemp (1995) menyebutkan strategi pembelajaran sebagai suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Sedangkan Dick dan Carey (1985) menyebutkan bahwa strategi pembelajaran merupakan suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa (Sanjaya, 2006, 1924).
Shukor dalam Muhfahroyin (2009) menyatakan bahwa untuk menghadapi perubahan dunia yang begitu pesat adalah dengan membentuk budaya berpikir kritis di masyarakat. Prioritas utama dari sebuah system pendidikan adalah mendidik siswa tentang bagaimana cara belajar dan berpikir kritis.
Berpikir kritis adalah keharusan dalam usaha menyelesaikan masalah, membuat keputusan, menganalisis asumsi-asumsi. Berpikir kritis diterapkan kepada siswa untuk belajar memecahkan masalah secara sistematis, inovatif, dan mendesain solusi yang mendasar. Dengan berpikir kritis siswa menganalisis apa yang mereka pikirkan, mensintesis informasi, dan menyimpulkan.
Sering terjadi di beberapa sekolah menggunakan strategi pembelajaran yang kurang efektif. Seorang guru hanya bisa memberikan materi dalam bentuk ceramah tanpa memikirkan mungkin saja ada siswa yang ingin mengatakan sesuatu. Dalam makalah yang akan dibahas ini penulis akan mencoba sedikit menjelaskan tentang strategi pembelajaran atau model pembelajaran yang bertumpu pada pengembangan kemampuan berpikir peserta didik. Peserta didik bukan sekedar menguasai materi pelajaran, tetapi bagaimana mengembangkan gagasan dan ide melalui bahasa verbal.

B. Batasan dan Ruang Lingkup Pokok Bahasan
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan yang akan dikemukakan pada makalah ini perlu dibatasi pada pengajaran bahasa Indonesia dalam meningkatkan kemampuan berfikir kritis siswa. Dengan demikian, rumusan masalah pada makalah ini dikemukakan dalam bentuk pertanyaan, yaitu “Bagaimanakah peningkatan kemampuan berfikir siswa melalui pengajaran bahasa?”
C. Tujuan Pembahasan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peningkatan kemampuan berfikir siswa melalui pengajaran bahasa.
D. Manfaat Pembahasan
Berdasarkan tujuan pembahasan di atas, maka makalah ini diharapkan dapat bermanfaat:
a) Sebagai bahan masukan bagi pengajar bahasa dalam pemberdayaan pengajaran bahasa; dan
b) Untuk memperluas pengetahuan penulis tentang bahasa secara umum.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembelajaran Bahasa
1.1. Bahasa sebagai Objek Linguistik
Bertitik tolak dari definisi linguistik, dapat diambilkesimpulan bahwa objek linguistik adalah bahasa. Bahasa sebagai objek linguistik yang menyebabkan linguistik diputuskan menjadi satu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.
Berkaitan dengan kemajuan teknologi sekarang, kita dapat berbicara langsung dengan orang lain meskipun orang itu tinggal beratus-ratus kilometer dari tempat tinggal kita. Kiata dapat menghubunginya dengan jalan menelepon jarak jauh yang berarti kita telah menggunakan bahasa. Semestinya kita harus berlayar menemuinya, tetapi dengan menggunakan bahasa melalui jasa telepon, kita dapat meminta—misalnya—agar ia mengirim uang kepada kita.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering berkata, “Toni, ambilkan buku itu!” Tidak beberapa lama kemudian, buku yang kita maksud sudah berada di tangan kita. Ini berarti dengan menggunakan beberapa patah kata, ada kegiatan manusia yang diganti. Ini berarti pula bahwa bahasa berfungsi mengganti diri kita dan kegiatan kita.
Menggunakan bahasa mengirimkan lambang-lambang dari pembicara menuju pendengan. Oleh karena bahasa yang berwujud kata-kata dan kalimat yang digunakan berasal dari pribadi seseorang, maka dapat dikatakan bahwa bahasa bersifat individual. Bahasa berfungsi menghubungkan pribadi dengan pribadi. Bahasa bersifat personal yang berarti berguna untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan kemauan individu.
Sesuatu yang dikatakan oleh pembicara akan ditafsirkan oleh pendengar. Dengan kata lain, setelah kata atau kalimat yang berwujud bunyi-bunyi itu dihasilkan, orang yang mendengarnya bisa saja menaatinya. Ini berarti terjadi kerja sama antara pembicara dengan pendengar. Ini berarti pula bahwa hakikat bahasa yang bersifat individual itu menjadi kooperatif. Maksudnya, antara pembicara dengan pendengar terjadi kerja sama dengan jalan menggunakan bahasa.
Tanpa bahasa manusia tidak dapat melaksanakan amanah kehidupannya di dunia ini secara sempurna. Bahasa menjadi alat yang sempurna untuk menghubungkan dunia seseorang dengan dunia di luar dirinya. Bahasa sebagai alat mengacu juga sebagai alat perekam dan penyampai aktivitas kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
1.2. Pengajaran Bahasa oleh Guru
Tugas utama guru bahasa kalau dikaitkan dengan tujuan instruksional yang ingin dicapai adalah berusaha keras agar siswa menjadi tuntas berbahasa dalam bahasa yang diajarkan. Tugas guru mengajarkan bahasa dan bukan mengajarkan teori bahasa. Dewasa ini terdapat kesan bahwa guru lebih banyak mengajarkan teori bahasa dan tidak mengajarkan bagaimana siswa menggunakan bahasa yang diajarkan.
Menurut Stevick (1982) dalam Pateda (1991: 38), tugas guru bahasa meliputi tiga hal. Ketiga tugas itu adalah (1) mengembangkan potensi komunikasi, (2) mengembangkan potensi linguistik, dan (3) mengembangkan potensi personal. Tugas guru yang berhubungan dengan upaya mengembangkan kompentensi komunikasi mengacu pada upaya agar siswa mampu berkomunikas, baik sesama teman maupun dengan manusia lain. Tugas utama di sini adalah berusaha agar siswa berani dan tidak ragu-ragu untuk mengemukakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Ketiga domain itu tentu harus menggunakan bahasa yang benar. Siswa harus memahami kaidah-kaidah bahasa yang digunakan ketika ia berkomunikasi. Hal itu perlu agar tidak terjadi salah paham.
Kompentensi berkomunikasi dan kompentensi linguistik bersama-sama akan memperkuat kemandirian siswa sebagai makluk yang berkembang dan didengar pendapatnya. Keberanian berkomunikasi menggunakan bahasa yang tepat menimbulkan rasa kepercayaan pada diri sendiri bahwa ia merupakan pribadi yang berarti. Ia tidak akan ragu-ragu karena ia mengetahui kemampuan dirinya. Dalam keadaan tertentu ia dapat menentukan sikap terhadap sejumlah alternatif yang dihadapinya karena kompentensi personalnya telah berkembang sedemikian melalui interaksi positif antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dan siswa dengan lingkungan.
Kompentensi berkomunikasi dan kompentensi linguistik berkembang secara baik apabila pada diri siswa sendiri terdapat motivasi. Motivasi yang dimaksud adalah berkomunikasi, mengembangkan komunikasi linguistik bahkan mengembangkan komunikasi personal. Dikaitkan dengan motivasi, ada empat faktor utama yang turut menentukan. Keempat faktor itu adalah (1) sosiolinguistik, (2) siswa, (3) metode, dan (4) guru.
Faktor sosiolinguistik mengacu kepada hubungan siswa dengan lingkungan sosialnya. Ini berarti pilihan bahasa siswa dikaitkan dengan fungsi dan situasi. Faktor siswa mengacu pada upaya sadar yang muncul dari siswa sendiri untuk mengembangkan poteni yang dimiliki. Faktor metode mengacu pada cara yang dilaksanakan sehingga siswa secara sadar berkeinginan berkomunikasi. Faktor guru mengacu pada upaya guru yang mengakibatkan siswa mau berkomunikasi.
Mengajarkan bahasa berarti “aktivitas terpogram menyediakan fasilitas yang memungkinkan siswa mengembangkan potensi dan keterampilannya” (Pateda, 1991: 39). Sebagai guru bahasa sebaiknya ia:
a)        menguasai semua metode pegajaran bahasa dan dapat menerapkan metode itu dalam proses belajar mengajar,
b)        menguasai bahan yang akan dan sedang diajarkan,
c)        melaksanakan semua kegiatan sekolah, misalnya melaksanakan ulangan,
d)       menguasai semua jenis dan prosedur penilaian,
e)        menguasai semua tipe latihan berbahasa,
f)         menguasai pengelolaan kelas, misalnya dapat mengatasi keributan siswa karena gangguan,
g)        menguasai teknik pegajaran individual,
h)        dapat menentukan dan menguasai silabi pelajaran,
i)          dapat memanfaatkan media pengajaran yang tersedia,
j)          menguasai tujuan pengajaran dan aktivitas untuk mencapai tujuan tersebut, dan
k)        menguasai teknik-teknik pendidikan.

1.3. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pembelajaran Bahasa
            Ada beberapa factor yang berpengaruh terhadp metode pembelajaran bahasa diantaranya:
a)        Persamaan dan perbadaan antar sistem bahasa pertama siswa dengan bahasa kedua yang mereka pelajari.
b)        Usia siswa pada saat mereka belajar bahasa indonesia
c)        Latar belakang sosial budaya siswa
d)       Pengalaman, pengetahuan dan keterampilan berbahasa siswa dalam bahasa yang dipelajarinya yang sudah mereka punyai.
e)        Pengetahuan dan keterampilan berbahasa guru dalam bahasa yang akan dipelajarinya:
f)         Guru bahasa menguasai bahan ajar
g)        Guru bahasa mampu mengelola program-program belajar mengajar bahasa indonesia
i)          Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipelajari siswa dalam masyarakat tempat dimana mereka berada.
j)          Tujuan pembelajaran yang di inginkan
k)        Alokasi waktu yang tersedia untuk kegiatan pembelajaran
l)          Metode yang digunakan dalam pembelajaran bahasa
1.4.  Jenis-Jenis Metode dalam Pembelajaran Bahasa
            Berikut ini akan dijelaskan beberapa metode dlam pembelajaran bahasa,diantarnya:
a)  Metode Audiolingual
Metode audiolingual sangat mengutamakan drill (pengulangan). Metode itu muncul karena terlalu lamanya waktu yang ditempuh dalam belajar bahasa target. Padahal untuk kepentingan tertentu, perlu penguasaan bahasa dengan cepat. Dalam audiolingual yang berdasarkan pendekatan struktural itu, bahasa yang diajarkan dicurahkan pada lafal kata, dan pelatihan pola-pola kalimat berkali-kali secara intensif. Guru meminta siswa untuk mengulang-ulang sampai tidak ada kesalahan.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan adalah (a) penyajian dialog atau teks pendek yang dibacakan guru berulang-ulang dan siswa menyimak tanpa melihat teks yang dibaca, (b) peniruan dan penghafalan teks itu setiap kalimat secara serentak dan siswa menghafalkannya, (c) penyajian kalimat dilatihkan dengan pengulangan, (d) dramatisasi dialog atau teks yang dilatihkan kemudian siswa memperagakan di depan kelas, dan (e) pembentukan kalimat lain yang sesuai dengan yang dilatihkan.
b) Metode Komunikatif
Desain yang bermuatan komunikatif harus mencakup semua keterampilan berbahasa. Setiap tujuan diorganisasikan ke dalam pembelajaran. Setiap pembelajaran dispesifikkan ke dalam tujuan konkret yang merupakan produk akhir. Sebuah produk di sini dimaksudkan sebagai sebuah informasi yang dapat dipahami, ditulis, diutarakan, atau disajikan ke dalam nonlinguistis. Sepucuk surat adalah sebuah produk. Demikian pula sebuah perintah, pesan, laporan, atau peta, juga merupakan produk yang dapat dilihat dan diamati. Dengan begitu, produk-produk tersebut dihasilkan melalui penyelesaian tugas yang berhasil.
Contohnya menyampaikan pesan kepada orang lain yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Tujuan itu dapat dipecah menjadi (a) memahami pesan, (b) mengajukan pertanyaan untuk menghilangkan keraguan, (c) mengajukan pertanyaan untuk memperoleh lebih banyak informasi, (d) membuat catatan, (e) menyusun catatan secara logis, dan (f) menyampaikan pesan secara lisan.
Dengan begitu, untuk materi bahasan penyampaian pesan saja, aktivitas komunikasi dapat terbangun secara menarik, mendalam, dan membuat siswa lebih intensif.
c) Metode Produktif
Metode produktif diarahkan pada berbicara dan menulis. Siswa harus banyak berbicara atau menuangkan gagasannya. Dengan menggunakan metode produktif diharapkan siswa dapat menuangkan gagasan yang terdapat dalam pikirannya ke dalam keterampilan berbicara dan menulis secara runtun. Semua gagasan yang disampaikan dengan menggunakan bahasa yang komunikatif.
Yang dimaksud dengan komunikatif di sini adalah adanya respon dari lawan bicara. Bila kita berbicara lawan bicara kita adalah pendengar, bila kita menulis lawan bicara kita adalah pembaca.

d) Metode Langsung
Metode langsung berasumsi bahwa belajar bahasa yang baik adalah belajar yang langsung menggunakan bahasa secara intensif dalam komunikasi. Tujuan metode langsung adalah penggunaan bahasa secara lisan agar siswa dapat berkomunikasi secara alamiah seperti penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat.
Siswa diberi latihan-latihan untuk mengasosiasikan kalimat dengan artinya melalui demonstrasi, peragaan, gerakan, serta mimik secara langsung.
e) Metode Partisipatori
Metode pembelajaran partisipatori lebih menekankan keterlibatan siswa secara penuh. Siswa dianggap sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa didudukkan sebagai subjek belajar. Dengan berpartisipasi aktif, siswa dapat menemukan hasil belajar. Guru hanya bersifat sebagai pemandu atau fasilitator.
Dalam metode partisipatori siswa aktif, dinamis, dan berlaku sebagai subjek. Namun, bukan berarti guru harus pasif, tetapi guru juga aktif dalam memfasilitasi belajar siswa dengan suara, gambar, tulisan dinding, dan sebagainya. Guru berperan sebagai pemandu yang penuh dengan motivasi, pandai berperan sebagai moderator dan kreatif. Konteks siswa menjadi tumpuan utama.
f) Metode Membaca
Metode membaca bertujuan agar siswa mempunyai kemampuan memahami teks bacaan yang diperlukan dalam belajar siswa.
Berikut langkah-langkah metode membaca:
(1)   Pemberian kosakata dan istilah yang dianggap sukar dari guru ke siswa. Hal ini diberikan dengan definisi dan contoh ke dalam kalimat
(2)   Penyajian bacaan di kelas. Bacaan dibaca dengan diam selama 10-15 menit (untuk mempercepat waktu, bacaan dapat diberikan sehari sebelumnya)
(3)   Diskusi isi bacaan dapat melalui tanya jawab
(4) Pembicaraan tata bahasa dilakukan dengan singkat. Hal itu dilakukan jika dipandang perlu oleh guru
(5)   Pembicaraan kosakata yang relevan
(6)   Pemberian tugas seperti mengarang (isinya relevan dengan bacaan) atau membuat denah, skema, diagram, ikhtisar, rangkuman, dan sebagainya yang berkaitan dengan isi bacaan.
g) Metode Tematik
Dalam metode tematik, semua komponen materi pembelajaran diintegrasikan ke dalam tema yang sama dalam satu unit pertemuan. Yang perlu dipahami adalah bahwa tema bukanlah tujuan tetapi alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tema tersebut harus diolah dan disajikan secara kontekstualitas, kontemporer, konkret, dan konseptual.
Tema yang telah ditentukan haruslah diolah dengan perkembangan lingkungan siswa yang terjadi saat ini. Begitu pula isi tema disajikan secara kontemporer sehingga siswa senang. Apa yang terjadi sekarang di lingkungan siswa juga harus terbahas dan terdiskusikan di kelas. Tema tidak disajikan secara abstrak tetapi diberikan secara konkret. Semua siswa dapat mengikuti proses pembelajaran dengan logika yang dipunyainya. Konsep-konsep dasar tidak terlepas. Siswa berangkat dari konsep ke analisis atau dari analisis ke konsep kebahasaan, penggunaan, dan pemahaman.
h) Metode Kuantum
Quantum Learning (QL) merupakan metode pendekatan belajar yang bertumpu dari metode Freire dan Lozanov. QL mengutamakan kecepatan belajar dengan cara partisipatori peserta didik dalam melihat potensi diri dalam kondisi penguasaan diri. Gaya belajar mengacu pada otak kanan dan otak kiri menjadi ciri khas QL. Menurut QL bahwa proses belajar mengajar adalah fenomena yang kompleks. Segala sesuatu dapat berarti setiap kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi, serta sejauh mana guru mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajaran maka sejauh itulah proses belajar berlangsung.
Hubungan dinamis dalam lingkungan kelas merupakan landasan dan kerangka untuk belajar. Dengan begitu, pembelajar dapat mememori, membaca, menulis, dan membuat peta pikiran dengan cepat.
i) Metode Kerja Kelompok Kecil (Small-Group Work)
Mengorganisasikan siswa dalam kelompok kecil merupakan metode yang banyak dianjurkan oleh para pendidik. Metode ini dapat dilakukan untuk mengajarkan materi-materi khusus. Kerja kelompok kecil merupakan metode pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Siswa dituntut untuk memperoleh pengetahunan sendiri melalui bekerja secara bersama-sama. Tugas guru hanyalah memonitor apa yang dikerjakan siswa. Yang ingin diperolah melalui kerja kelompok adalah kemampuan interaksi sosial, atau kemampuan akademik atau mungkin juga keduanya.
j) Metode Alamiah
Metode ini banyak memiliki nama, yaitu metode murni, metode natural atau “customary method”. Metode ini memiliki prinsip bahwa mengajar bahasa baru (seperti bahasa kedua) harus sesuai dengan kebiasaan belajar berbahasa yang sesungguhnya sebagaimana yang dilalui oleh anak-anak ketika belajar bahasa ibunya. Proses alamiah inilah yang harus dijadikan landasan dalam setiap langkah yang harus ditempuh dalam pengajaran bahasa kedua, seperti bahasa Indonesia.
Seperti Anda ketahui proses belajar bahasa anak-anak dimulai dengan mendengar, kemudian berbicara, kemudian membaca dan akhirnya menulis atau mengarang. Jadi pada awal pelajaran, gurulah yang banyak berbicara/bercerita dalam rangka memperkenalkan bunyi-bunyi, kosa kata dan struktur kalimat sederhana. Setelah mereka dapat menyimak dengan baik, kemudian anak-anak diajak berbicara dan selanjutnya mulai diperkenalkan dengan membaca dan menulis.
k) Metode Terjemahan
Metode terjemahan (the translation method) adalah metode yang lazim digunakan untuk pengajaran bahasa asing, termasuk dalam hal ini Bahasa Indonesia yang pada umumnya merupakan bahasa kedua setelah penggunaan bahasa ibu yakni bahasa daerah. Prinsip utama pembelajarannya adalah bahwa penguasaan bahasa asing dapat dicapai dengan cara latihan terjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa ibu murid atau ke dalam bahasa yang dikuasainya. Misal: latihan terjemahan dari Bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah atau dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Kelebihan metode ini dalam hal kepraktisan dalam pelaksanaannya dan dalam hal penguasaan kosakata dan tatabahasa dari bahasa yang baru dipelajari siswa.
l) Metode Pembatasan Bahasa
Metode ini menekankan pada pembatasan dan penggradasian kosakata dan struktur bahasa yang akan diajarkan. Pembatasan itu dalam hal kekerapan atau penggunaan kosakata dan urutan penyajiannya. Kata-kata dan pola kalimat yang tinggi pemakaiannya di masyarakat diambil sebagai sumber bacaan dan latihan penggunaan bahasa. Pola-pola kalimat, perbendaharaan kata, dan latihan lisan maupun tulisan dikontrol dengan baik oleh guru.

B. Berfikir Kritis
Menurut Paul, Fisher dan Nosich (1993:4) berpikir kritis adalah mode berpikir-mengenal hal, substansi atau masalah apa saja dimana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil strukturstruktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya.
Edward Glaser (1941:5) mendefinisikan berpikir kritis sebagai suatu sikap mau berpikir secara mendalam tenatang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan seseorang; pengetahuan tentang metode-metode pemeriksanaan dan penalaran yang logis; dan semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut.
Menurut Ennis (dalam Norris dan Ennis, 1989), berpikir kritis didefinisikan“critical thinking as the ability to make reasonable assessments of statements, to which we would add that critical thinking is the best thought of asan attitude or a persistent disposition to make such assessments”.
Berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Angelo (1995: 6), bahwa berpikir kritis harus memenuhi karakteristik kegiatan berpikir yang meliputi : analisis, sintesis, pengenalan masalah dan pemecahannya, kesimpulan, dan penilaian. Dari beberapa pendapat para ahli tentang definisi berpikir kritis di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis (critical thinking) adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi tersebut bisa didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, akal sehat atau komunikasi.
Universal inlellectual standars adalah standardisasi yang harus diaplikasikan dalam berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas pemikiran dalam merumuskan permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Berpikir kritis harus selalu mengacu dan berdasar kepada standar tersebut (Eider dan Paul, 2001: 1).
Sedangkan menurut Glaser (1941:6) indikator-indikator berpikir kritis adalah sebagai berikut:
a. mengenal masalah,
b. menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu,
c. mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan,
d. mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan,
e. memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas,
f. menganalisis data
g. menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan,
h. mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah,
i.   menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan,
j.   menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil,
k. menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas,
l.   membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Ennis (dalam Costa, 1985: 55) indikator kemampuan berpikir kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis siswa meliputi:
a. Mencari pernyataan yang jelas dari pertanyaan.
b. Mencari alasan.
c. Berusaha mengetahui infomasi dengan baik.
d. Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya.
e. Memerhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan.
f. Berusaha tetap relevan dengan ide utama.
g. Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar.
h. Mencari alternatif.
i.   Bersikap dan berpikir terbuka.
j.   Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu.
k. Mencari penjelasan sebanyak mungkin.
l.   Bersikap secara sistematis dan teratur dengan bagian dari keseluruhan masalah.
Selanjutnya, Ennis (dalam Costa, 1985: 55-56), mengidentifikasi 12 indikator berpikir kritis, yang dikelompokkannya dalam lima besar aktivitas sebagai berikut:
a. Memberikan penjelasan sederhana, yang berisi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan.
b. Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak dan mengamati serta mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
c. Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau mempertimbangkan hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan.
d.  Memberikan penjelasan lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi istilahistilah dan definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi.
e. Mengatur strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain. Indikator-indikator tersebut dalam prakteknya dapat bersatu padu membentuk sebuah kegiatan atau terpisah-pisah hanya beberapa indikator saja.
Berdasarkan penjelasan indikator-indikator berpikir kritis diatas. Aspek kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.
a. Keterampilan memberikan penjelasan yang sederhana, dengan indikator: menganalisis pertanyaan dan memfokuskan pertanyaan.
b. Keterampilan memberikan penjelasan lanjut, dengan indikator: mengidentifikasi asumsi.
c. Keterampilan mengatur strategi dan taktik, dengan indikator: menentukan solusi dari permasalahan dalam soal dan menuliskan jawaban atau solusi dari permasalahan dalam soal.
d.  Keterampilan menyimpulkan dan keterampilan mengevaluasi, dengan indikator: menentukan kesimpulan dari solusi permasalahan yang telah diperoleh dan menentukan alternatif-alternatif cara lain dalam menyelesaikan masalah.

C. Peningkatan Kemampuan Berfikir Kritis melalui Pembelajaran Bahasa
Tugas guru memang berat karena guru bukanlah manusia yang menghadapi benda mati, bukan menghadapi tumpukan kertas, guru bukanlah guru tik yang kalau salah mengetik tersedia tip ex untuk memperbaiki kesalahan itu. Guru adalah manusia biasa yang penuh keterbatasan. Selain itu, ia menghadapi manusia yang sedang berkembang yang memiliki sejumlah potensi yang harus dilacak dan dikembangkan. Dalam kegiatannya, guru harus dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu dasar, misalnya ilmu alamiah dasar, ilmu sosial dasar, dan ilmu budaya dasar. Guru juga harus dibekali dengan ilmu pendidikan, misalnya dasar-dasar pendidikan, layanan bimbingan belajar, pengelolaan kelas, interaksi belajar mengajar, penilaian, dan perencanaan pengajaran bahasa. Tentu saja ilmu yang berhubungan dengan bidang studi harus mempunyai porsi yang banyak dalam pengalokasian waktu.
Secara ideal, seorang guru bahasa adalah seorang ahli bahasa, peneliti, dan penulis bahan pelajaran kebahasaan. Ia juga harus selalu mendalami dan mengikuti perkembangan ilmu yang diajarkannya. Seorang guru bahasa mau tidak mau harus menguasai linguistik. Sekali pun harapan ideal pertama, yaitu menjadi ahli bahasa dapat diperlunak, tetapi dengan pengetahuan linguistik yang dimiliki, guru bahasa dapat mengajarkan aspek bahasa sehingga siswa dengan mudah menguasai bahan yang diajarkan. Bagaimanakah seorang guru bahasa menerangkan kata menanamkan dan menanami kalau tidak menguasai tata bahasa. Bagaimana pula guru bahasa mengajarkan pengimbuhan ber + ajar menjadi belajar dan bukan berajar, kalau guru tersebut tidak menguasai linguistik? Bagaimana guru bahasa Indonesia dapat mengajarkan pragmatik kalau ia sendiri tidak pernah bergaul dengan sosiolinguistik?
Pendek kata, seorang guru bahasa harus menguasai linguistik kalau ia ingin menjadi guru yang baik. Guru bahasa Indonesia harus menguasai fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan ilmu-ilmu sekerabat dengan linguistik—misalnya sosiolinguistik dan psikolinguistik—dalam bahasa Indonesia. Tentu saja pengetahuan linguistik bagi seorang guru bahasa Indonesia lebih bersifat praktis dalam arti membentengi diri agar dapat menjelaskan gejala bahasa Indonesia yang diajarkannya. Jelas pula, seorang guru bahasa Indonesia tidak boleh hanya mengajarkan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Kaidah bahasa Indonesia dapat diajarkan untuk menuntun pola penggunaan bahasa Indonesia ketika siswa berkomunikasi. Guru sebaiknya memahami bagaimana agar kaidah bahasa yang dianalisis berdasarkan konsep linguistik dapat menampakkan diri dalam pemakaian bahasa siswa. Hal itu perlu ditekankan karena guru bahasa Indonesia tidak mengajar siswa menjadi ahli bahasa Indonesia, tetapi berusaha agar siswa mahir berbahasa.
Guru bahasa selain memenuhi syarat teknis administratif sebagai guru, juga harus dilandasi dengan pengetahuan linguistik. Hal itu penting agar wawasannya tentang pengajaran bahasa bertambah luas. Dengan demikian, linguistik mempunyai kegunaan bagi guru bahasa. Kegunaan itu sekurang-kurangnya dalam tiga hal, yakni (1) kegunaan untuk peningkatan mutu profesi, (2) kegunaan secara teoritis, dan (3) kegunaan secara praktis (Pateda, 1991: 41).
Di sisi lain keberhasian seorang guru dalam mengajar ketika siswa mampu menerima pembelajaran yang di berikan oleh guru sehingga mereka memahami dan menguuasai materi yang telah diajarkan. Lebih jauh kita mengharapkan setelah memahami materi siswa mampu mengalisah hal-ha yang berkaitan dengan materi yang telah diajarkan yang pada gilirannya siswa mampu berfikir kritis terhadap penenommena-penomena yang ada disekitarnya.
Keberhasilan guru mengarahkan siswa untuk berfikir kritis sebenarnya dapat dicapai karena beberapa hal yang dilakukan oleh guru diantarnya:
1.      Penggunaan metode yang sesuai
2.    Kreatif dalam melaksanakan pembelajaran
3.    Mampu mengrahkan siswa untuk mampu memberikan penjelasan sederhana, mampu  menyimpulkan, mampu memberikan penjelasan lanjut, mampu mengatur strategi dan teknik.




BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Guru bahasa Indonesia di kelas tidak menghadapi benda mati tetapi menghadapi manusia yang kreatif, berpotensi, dan dinamis. Dalam kegiatannya, guru harus dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu tentang pendidikan maupun yang bersangkutan dengan mata pelajaran yang diajarkan. Dalam hal ilmu pendidikan, guru harus dibekali dengan ilmu pendidikan, misalnya dasar-dasar pendidikan, layanan bimbingan belajar, pengelolaan kelas, interaksi belajar mengajar, dan penilaian.
2. Keberhasilan guru mengarahkan siswa untuk berfikir kritis di tentukan oleh faktor diantaranya:
a.      Penggunaan metode yang digunakan oleh guru harus sesuai dengan materi pembajaran
b.    Kreatif guru dalam melaksanakan pembelajaran
c.      Mengrahkan siswa untuk mampu memberikan penjelasan sederhana, mampu  menyimpulkan, mampu memberikan penjelasan lanjut, mampu mengatur strategi dan teknik.

B. Saran-saran
Mengacu pada pembahasan yang dikemukakan, ada beberapa saran yang dapat dikemukakan sehubungan dengan pemberdayaan guru bahasa meningkatkan kemampuan kritis siswa, yaitu:
a. guru bahasa sebaiknya membekali diri dengan ilmu pendidikan dan pengetahuan linguistik,
b. guru bahasa Indonesia mengikuti terus perkembangan ilmu yang diajarkannya, dan
c. guru bahasa harus berusaha menambah pengetahuan dan keterapilannya, baik melalui pendidikan formal maupun informal.
DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

http://henywahyunibastra.blogspot.com/2015/01/strategi-pembelajaran-peningkatan.html 



http://ihwansp.blogspot.com/2011/01/tugas-kelompok-strategi-pembelajaran.html

http://muhfahroyin. blogspot.com/2009/01/berpikir-kritis.html.

Mulyono, Anton M. dkk. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

_______ . 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.

Muhfaroyin. (2009). “Memberdayakan Kemampuan Berpikir Kritis”.


Nikelas, Syhwin. 1988. Pengantar Linguistik untuk Guru Bahasa. Jakarta: Depdikbud.

Nasution, S. (1989). Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Pateda, Mansoer. 1991. Linguistik Terapan. Flores: Nusa Indah.

Soenardji. 1988. Sendi-sendi Linguistika bagi Kepentingan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Debdikbud.

Subyakto-N, Sri Utari. 1988. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Depdikbud.

Sanjaya, W. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Sapriya. (2008). Pendidikan IPS . Bandung: Laboratorium PKn UPI Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarnya disini